BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Harta
adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu,
manusia dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta itu dapat berwujud
benda bergerak atau benda tidak bergerak. Cara memperoleh harta pun kian
beragam. Dari cara yang halal seperti bekerja keras hingga orang yang
menggunakan “jalan pintas”. Salah satu cara memperoleh harta itu adalah melalui
jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang diakibatkan meninggalnya
seseorang. Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku. Khususnya hukum Islam. Melalui berbagai syarat dan ketentuan yang di
atur dalam hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus keluarga
atau anak dari salah satu orang tua yang meninggal dapat memperoleh harta
peninggalan orang tuanya dengan tidak menzhalimi atau merugikan orang lain.
Keberadaan
wasiat sebagai suatu proses peralihan harta ternyata telah berlangsung cukup
lama. Pada masa-masa sebelum kedatangan Islam, pelaksanaan wasiat kurang
mengedepankan prinsip kebenaran dan keadilan. Hal ini antara lain terlihat pada
masa Romawi. Selanjutnya, pada masa Arab Jahiliyah, wasiat diberikan kepada
orang lain dengan tujuan untuk berlomba-lomba menunjukkan kemewahan, sedangkan
kerabat yang ada ditinggalkan dalam keadaan miskin dan membutuhkan. Kondisi ini
kemudian berubah dengan datangnya Islam yang mengarahkan tujuan wasiat kepada
dasar-dasar kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, kepada pemilik harta
diwajibkan untuk berwasiat kepada orang tua dan karib kerabat sebelum dilakukan
pembagian harta warisan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wasiat Dan Waris
Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti
yaitu menjadikan, menaruh kasih saying, menyuruh dan menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lainnya. Secara terminologi wasiat adalah pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang atau manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati[1]
Fuqoha
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan, wasiat adalah suatu transaksi
yang mengharuskan si penerima wasiat berhak memiliki 1/3 harta peninggalan si
pemberi setelah meninggal, atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si
pewasiat kepada penerima. kompilasi hukum islam mendefinisikan wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal
kamu mengetahui. Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan
itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari
tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah
tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
B. Hubungan Wasiat Dan Waris
Persamaannya
dari keduanya yaitu sama- sama mengalihkan kepemilikan kita kepada orang lain.
Perbedaan dari keduanya yaitu: Waris
terkait dengan harta peninggalan ( tirkah), Wasiat terkait dengan peninggalan
seseorang diberikan ketika orang masih hidup (pelaksanaannya ketika orang yang
berwasiat sudah meninggal). Islam sebagai
ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan
manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang
pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan
bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya.
Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian,
dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan. Pembagian harta warisan
didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia
yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan yang terpenting
pembagian harta warisan setelah di tunaikan dulu wasiat si mayat apabila ia
berwasiat .
Dasar
hukum dari wasiat adalah firman Allah swt :
Artinya
: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang
di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Artinya
: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.”
(QS. An Nisaa : 11)
Sedangkan
didalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah saw
bersabda,”Barangsiapa yang wafat dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati
di jalan Allah dan sunnah Rasulullah, mati dalam keadaan takwa dan syahid, dan
mati dalam keadaan diampuni atas dosanya.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun
prosentase maksimal besarnya wasiat seseorang yang paling utama adalah tidak
lebih dari sepertiga hartanya, sebagaimana ijma’ ulama. Didalam sebuah hadits
yang diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash berkata,”Telah datang Nabi saw untuk
menengokku, sedangkan aku berada di Mekah—beliau tidak suka mati di tanah yang
beliau hijrah—beliau berkata,”Semoga Allah mengasihi anak lelaki Afra.’ Aku
berkata,”Wahai Rasulullah apakah aku harus mewasiatkan semua hartaku?’ beliau
saw menjawab,’Tidak.’ Aku berkata,’separuhnya.’ Beliau saw menjawab,’Tidak.’
Aku berkata,’Sepertiga?’
Beliau
saw menjawab,’ya, sepertiga. Dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya apabila
engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada
engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada
manusia dengan tangan mereka. Sesungguhnya apa pun nafkah yang telah engkau
nafkahkan, maka ia adalah sedekah hingga makanan yang engkau letakkan di mulut
istrimu…” (HR. Bukhori dan Muslim)
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa sepertiga tersebut dihitung dari total harta yang
ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa
sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan
yang tidak diketahuinya atau yang masih berkembang, sedangkan dia tidak
mengetahuinya.
Apakah
sepertiga harta yang menjadi pegangan wasiat itu harta pada saat dia
mewasiatkan atau harta sesudah dia wafat? Imam Malik, an Nakh’i dan Umar bin
Abdul Aziz berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sepertiga peninggalan
pada saat dilakukan wasiat. Sedangkan Abu hanifah, Ahmad dan pendapat yang
lebih shahih dari kedua pendapat Syafi’i menyatakan bahwa sepertiga itu adalah
sepertiga pada saat dia wafat. Inilah pendapat Ali dan sebagian tabi’in.
Jika
pemberi wasiat mempunyai ahli waris maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari
sepertiga. Jika dia mewasiatkan lebih dari sepertiga maka wasiat itu tidak
dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris dan pelaksanakannya diperlukan
dua syarat berikut :
1.
Dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia, sebab sebelum dia
meninggal, orang yang memberi izin itu belum mepunyai hak sehingga izinnya
tidak menjadi pegangan. Apabila ahli waris memberikan izin pada saat pemberi
wasiat masih hidup maka orang yang berwasiat boleh mencabut kembali wasiatnya
apabila dia menginginkan. Apabila ahli waris memberikan izin sesudah orang yang
berwasiat wafat maka wasiat itu dilaksanakan. Az Zuhri dan Rabi’ah berkata
bahwa orang yang sudah wafat itu tidak akan menarik kembali wasiatnya.
2.
Mempunyai kemampuan yang sah dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian,
pada saat memberikan izin. Jika orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris
maka dia pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama.
Kalangan
pengikut Hanafi, Ishak, Syuraik dan Ahmad dalam satu riwayatnya membolehkan
berwasiat lebih dari sepertiga. Sebab, dalam keadaan seperti ini orang yang
berwasiat itu tidak meninggalkan orang yang dikhawatirkan kemiskinannya dan
juga karena wasiat yang ada didalam ayat tersebut adalah wasiat secara mutlak
hingga dibatasi oleh hadits dengan “mempunyai ahli waris.” Dengan demikian,
wasiat secara mutlak ini tetap terjadi bagi orang yang tidak mempunyai ahli
waris. (Fiqhus Sunnah juz IV hal 467 – 478)
Dari sumber lain disebutkan Adapun jika pembagian
harta dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat
kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk kategori hibah, tetapi
sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
- Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris,
seperti: anak, istri, saudara, karena mereka sudah mendapatkan jatah dari
harta warisan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist: “Tidak ada
wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Ashabu as-Sunan).
Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam
hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama: Sebagai bantuan bagi
yang membutuhkan, kedua: Sebagai sarana silaturahim.
- Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat
dan keluarga selama itu membawa maslahat.
- Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari seluruh
harta yang dimilikinya. Dan dikeluarkan setelah diambil biaya dari
pemakaman.
- Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah
meninggal dunia.
C.
Wasiat Wajibah
Wasiat
wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan
wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah
suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu
halangan syara’[3]) Suparman dalam bukunya Fiqh
Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat
yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau
kehendak si yang meninggal dunia[4])
Dalam
undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu
pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak
mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham
atau terhijab oleh ahli waris lain.[5])
Di kalangan para ulama masih
terdapat pro dan kontra mengenai wasiat wajibah ini. Mayoritas ahli tafsir dan
jumhur ahli fiqh menjelaskan bahwa ayat mengenai wasiat wajibah tersebut telah
di naskh dengan ayat-ayat mawarits. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa hukum
wasiat wajibah tersebut masih berlaku meskipun telah di mansukh oleh ayat-ayat
waris Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila tidak diadakan wasiat untuk para
kerabat yang tidak mendapat bagian waris, maka hakim harus bertindak sebagai
muwarits yaitu memberi sebagian dari harta peninggalan kepada kerabat-kerabat
yang tidak mendapatkan bagian harta warisan.
Wasiat wajibah pun secara eksplisit
tercantum dalam KHI Pasal 209 ayat (1) yaitu
harta peninggalan anak angkat
dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 yang tersebut di atas
sedangkan terhadapn orang tua yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.
Syarat-Syarat Bagi Orang yang Berhak
Memperoleh Wasiat Wajibah
Syarat-syarat orang yang berhak atas
wasiat wajibah yaitu:
1. Seseorang yang mendapatkan wasiat
wajibah adalah bukan ahli waris. Jika ia menerima sejumlah harta warisan
meskipun sedikit,maka tidak wajib wasiat untuknya.
2. Orang yang meninggal seperti kakek
atau nenek belum memberikan wasiat kepada anaknya. Harta tersebut mungkin telah
diberikan kepada si anak, namun dengan jalan hibah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas,
kami dapat menyimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur
sedemikian rupa tentang peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia
kepada anggota keluarga atau kerabatnya yang masih hidup atau disebut juga
sebagai ahli waris. Agar seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan,
ia harus memiliki syarat; adanya hubungan pernikahan, keluarga, kekerabatan.
Namun terlepas dari hak yang diperoleh para ahli waris, seseorang pun harus
memiliki syarat seperti tidak terhijab atau terhalang untuk memperoleh harta
warisan lantaran misalnya melakukan pembunuhan atau percobaan pembunuhan.
Secara pemahaman praktis, bahwa wasiat itu
adalah permohonan oleh seseorang yang akan meninggal dunia, agar permohonan
tersebut dapat dijalankan sesudah sang pewasiat meningal dunia.
Karena keterkaitan antara waris dan
wasiat, maka dalam pembahasan wasiat terdapat bagian yang membicarakan wasiat
wajibah. Yaitu wasiat yang wajib diberikan kepada ayah, ibu, dan kerabat
terdekat khususnya yang tidak memperoleh bagian harta warisan. Demikian menurut
QS Al-Baqarah: 180. Namun hal ini sejatinya masih terdapat pro dan kontra
mengenai wasiat wajibah. Yaitu mengenai status ayat yang telah di naskh oleh
ayat-ayat waris. Wasiat wajibah dapat diperoleh dengan syarat; seseorang bukan
dari pihak ahli waris dan seseorang belum menerima wasiat dari orang tuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Fatchur Rahman, 1979,Ilmu
Waris,Jakarta: Bulan Bintang,hal. 63.
Abdul Aziz Dahlan. 2000, Ensiklopedi
Hukum Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, , Jilid 6, hal.1930.
Suparman, et.all, 1997. Fiqih
Mawaris (Hukum Kewarisan Islam).Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 163
Ahmad Zahari,2006, Tiga
versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’I, Hazairin dan KHI, Pontianak: Romeo
Grafika,, hal .98.
[1] Fatchur Rahman, 1979,Ilmu
Waris,Jakarta: Bulan Bintang,hal. 63.
[3] Abdul Aziz Dahlan. 2000, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, ,
Jilid 6, hal.1930.
[4] Suparman, et.all, 1997. Fiqih
Mawaris (Hukum Kewarisan Islam).Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 163
[5] Ahmad Zahari,2006, Tiga
versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’I, Hazairin dan KHI, Pontianak: Romeo Grafika,,
hal .98.