Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah pasti mempunyai alasan-alasan tertentu dan mengandung hikmah yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah itu tidak ada gunanya dan hal ini tentu tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut pasti terkait dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan pasti ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat nanti.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Illat Hukum
Secara etimologi ‘illat berasal dari kata علة-عل yang berarti sakit, yang menyusahkan, sebab, udzur.[1]
Secara terminologi menurut Atho bin Khalil ‘illat adalah sesuatu yang keberadaanya maka hukum menjadi ada. Atau perkara yang memunculkan hukum berupa pensyariatan suatu hukum. Illat adalah dalil, tanda, dan yang memberi tahu adanya hukum. beberapa definisi yang dikemukakan ulama, antara lain:
ا لعلة هي ا لو صف ا للظا هر ا لمنضبط ا لد ى جعل منا ط ا لحكم ينا سبه
Illat adalah satu sifat yang nyata yang terang tidak bergeser-geser yang dijadikan pergantungan sesuatu hukum yang ada munasabah antaranya dengan hukum itu.
Asy-Syaitibi, menuliskan pengertian illat sebagai berikut: Illat adalah kemaslahatan atau kemanfaatan yang dipelihara atau diperhatikan syara’ didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya. Mayoritas ulama’ Hanafiyah, sebagian ulama’ hanabilah dan Imam Baidhawi, mendefinisikan illat dengan:
ا لو صف المعر ف الحكم
Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.
Imam Al-Ghazali mendefinisikan illat dengan:
المؤ ثر في الحكم بجعله تعا لى لا با لد ا ت
Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan syari’. ‘Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashl serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya.[2]
Illat adalah sifat dalam hukum Ashal yang dijadikan dasar hukum. Dan dengan itu diketahui hukum tersebut dalam cabang, seperti “memabukkan” adalah sifat yang terdapat pada khomar yang dijadikan dasar keharamannya. Dan dengan itu diketahui wujudnya keharaman dalam setiap arak yang memabukkan. “Penganiayaan ” adalah sifat yang terdapat pada penjualan seseorang atas penjualan seseorang yang lain yang dijadikan dasar atas keharamannya.
2. Cara-cara Mengetahui ‘Illat
Illat suatu hukum dapat diketahui dengan cara-cara sebagai berikut[3] ;
a. Dengan Nash
Jika nash-nash al-Qur’an atau hadis telah menunjukkan bahwa illat hukumnya adalah sifat yang disebut oleh nash itu sendiri, maka sifat yang disebut
itulah yang menjadi illat hukumnya, dan illat yang demikian disebut illat manshush alaih. Menqiyaskan hukum sesuatu dengan dengan hukum sesuatu yang telah disebutkan oleh nash itu sendiri, pada hakekatnya menetapkan hukum sesuatu dengan nash.
Dalam konteks ini, dalalah nash atau petunjuk suatu nash, ada sifat yang disebutkan oleh nash itu sendiri adalah illat hukumnya ; adakalanya jelas sekali (sharahah) dan adakalanya berupa isyarah. Dalalah sharahah adalah suatu dalalah (penunjukan) lafadz nash kepada illat hukum dengan penunjukan yang jelas sekali. Dengan kata lain didalam nash itu sendiri terdapat kata-kata yang menujukkan illat hukumnya secara jelas. Contoh apabila di dalam nash itu sendiri disebutkan dengan jelas bahwa illat adalah demikian (liillatin kadza) atau sebabnya adalah karena demikian (lisababin kadza).
Dari segi penunjukannya kepada illat hukum, dalalah sharahah ada yang qaht’i dan ada yang zhanni’. Sharahah qath’iyyah apabila penunjukkan lafadz nash kepada illat hukum itu tidak mungkin dapat dibawa kepada illat hukum yang lain; misalnya firman Allah Swt., ;
Dengan ayat tersebut dapat dipahami bahwa illat diutusnya para rasul-rasul sebagai pembawa berita gembira dan memberi peringatan itu adalah agar manusia tidak berdalih bahwa mereka belum pernah mendapat petunjuk dari para rasul, padahal Allah telah mengutus rasul-rasul kepada mereka.
Selanjutnya, suatu dalalah sharahah disebut sharahah zhanniyah apabila penunjukkan nash kepada illat hukum itu masih ada kemungkinan dapat dibawa kepada illat hukum yang lain, QS. Al-Isra;78 misalnya;
b. Dengan Ijma‟
Ketika pada suatu masa, para mujtahid telah sepakat bahwa yang menjadi illat suatu hukum syara’ adalah suatu sifat, maka tetaplah sifat itu menjadi illat bagi suatu hukum tersebut secara ijma‟.
c. Dengan as-Sabru wa Taqsim (Meneliti dan Memisah-misahkan)
Dengan cara ketiga ini diterapkan apabila datang nash syara’ pada hal hukum kejadian dan tidak ditemukan nash atau ijma’ yang menunjukkan illatnya, maka para mujtahid melalui jalan as-sabru wat-taqsim, yaitu meneliti sifat-sifat yang terdapat pada kejadian itu dan memilih diantara sifat-sifat yang terdapat pada peristiwa itu yang patut dijadikan illat hukum. Misalnya; haramnya riba fadhli dan nasi’ah dalam mempertukarkan gandum dengan gandum. Pada masalah ini, tidak ditemukan nash atau ijma’ ulama yang menerangkan illat diharamkannya riba fadhli itu. Menghadapi masalah seperti ini, maka pendekatan as-Sabru wa taqsim, para mujtahid mencari sifat-sifat yang pantas dijadikan illat diharamkannya mempertukarkan gandum dengan gandum. Paling tidak ada tiga sifat yang dapat dipertimbangkan sebagai illatnya yaitu ; termasuk jenis makanan, termasuk makanan pokok-pokok sehari-hari yang dapat disimpan, dan termasuk barang yang dapat ditentukan kadarnya. Dari ketiga sifat tersebut, sifat ketiga yang pantas dijadikan illat keharaman riba fadhli, sebab dapat diqiyaskan bahwa setiap barang yang dapat ditimbang atau ditakar adalah haram dipertukarkan dengan yang sejenis dengan dia, apabila tidak sama timbangannya, atau kwalitasnya dan tidak pula dengan kontan.
Sebagai konklusi pada ketiga cara mengetahui illat, para mujtahid mencari semua sifat-sifat yang terdapat pada pokok, kemudian selanjutnya menggugurkan sifat-sifat yang tidak layak dijadikan illat dan memilih suatu sifat yang pantas dijadikan illat, menurut ijtihadnya. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika dikalangan para mujtahid terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan illat suatu hukum.
3. Syarat-syarat Illat
Para ahli ushul sepakat bahwa syarat-syarat illat adalah:
a. memiliki sifat yang jelas
Illat itu harus berupa sifat yang jelas yakni dapat disaksikan oleh salah satu panca indera. Sebab illat itu gunanya untuk hukum yang akan diterapkan pada cabangnya, dapat dilihat pada ashalnya seperti dapat dilihat pada cabangnya. Contoh ; sifat memabukkan yang dapat dilihat pada khamr (sebagai ashal qiyas), juga harus dapat dilihat pada perasaan (nabidz) buah-buahan yang memabukkan (sebagai cabang qiyas). Jika sifat-sifat itu masih samara atau tidak dapat dilihat dengan jelas, maka ia tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan ada atau tidaknya hukum pada cabang. Oleh karena itu berpindahnya hak milik dari sipenjual kepada si pembeli dalam msalah jual-beli, bukanlah karena terjadinya kerelaan antara mereka yang mengadakan jual-beli itu, tetapi karena adanya ijab dan qabul yang dapat dilihat dengan jelas, dan tercapainya kedewasaan seseorang bukanlah semata-mata karena sempurna akalnya, melainkan karena mencapai umur 15 tahun atau karena telah adanya tanda-tanda kedewasaan sebelum tercapainya umur tersebut. Hal ini juga dapat dilihat dengan jelas.
b. Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti (mundhabith)
Pada syarat yang kedua ini, dimaksudkan adalah suatu illat mempunyai hakikat yang nyata lagi tertentu yang memungkinkan untuk mengadakan hukum pada cabang dengan tepat atau dengan sedikit perbedaan. Karena asas qiyas itu adalah mempersamakan illat hukum pada cabang dengan asalnya. Dalam rangka persamaan ini, maka diharuskan adanya illat secara pasti, sehingga persamaan hukum antara kedua peristiwa. Misalnya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh seorang pewaris terhadap orang yang akan mewariskan adalah mempunyai hakekat yang pasti dan karenanya dapat diterapkan kepada pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang kan menerima wasiat terhadap orang yang mewasiatkan. Atas dasar ini, maka tidak sah membuat illat dengan sifat-sifat yang tidak pasti yang berbeda-beda Karena perbedaan situasi dan pribadi. Hal lain diperbolehkan bagi seseorang yang mengadakan atau bagi orang yang sakit tidak berpuasa pada bulan ramadhan, illatnya bukanlah Karen menolak kemasyakatan, sebab rupanya tidak semua orang yang mengadakan perjalanan begitu pula orang yang sakit merasa masyakat berpuasa. Maka dalam konteks syarat illat kedua pada contoh terakhir ini, yang menjadi illat adalah bepergian atau sakit itu sendiri. Sebab inilah sifat yang pasti adanya.
c. Illat itu harus berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum.
Yang dimaksudkan pada syarat ini, bahwa illat itu menurut dugaan keras, adalah sesuai dengan hikmah hukumnya. Atau dengan kata lain hubungan antara ada atau tidaknya hukum itu sesuai dengan maksud syara’ dalam mengadakan perundang-undangan ; yaitu menarik kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Sebab salah satu pendorong utama dalam pensyariatan suatu hukum dan tujuan yang hakiki adalah hikmah dari hukum itu sendiri. Sekiranya hikmah hukum-hukum itu jelas dan pasti, maka itulah yang menjadi illat hukumnya. Akan tetapi dalam banyak hal hikmah hukum itu tidak jelas dan tidak pasti pada sebagian hukum, maka sifat-sifat yang jelas dan pasti lagi sesuailah yang dijadikan illat hukumnya.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh illat hukum yang sesuai dengan hikmah penetapan hukumnya;
1) Penetapan haramnya minuman khmar, illat hukumnya adalah karena khamr itu memabukkan dan sifat memabukkan itu adalah sesuai dengan hikmah diharamkannya minuman khamr, yaitu untuk memelihara akal.
2) Pelaku pencuri harta orang lain yang cukup syarat hukum wajib dipotong tangannya, illat hukum wajibnya adalah tindakan mencuri, dan hal ini adalah sesuai dengan hikmah penetapan hukum itu yaitu memelihara harta milik.
3) Hukuman rajam bagi pelau zina, illat hukumnya adalah berzina. Penetapan hukuman raja mini, sesuai dengan hikmah hukum yakni memelihara keturunan
4) Musafir diperbolehkan tidak berpuasa, illat hukumnya adalah karena perjalanan, hal ini sesuai dengan hikmah hukum yaitu untuk menghindari kesukaran atau masyakkah. dalam perjalanan.
d. Suatu illat tidak hanya terdapat pada ashal saja.
Illat merupakan sifat yang dapat diterapkan pada beberapa masalah selain masalah pada ashal itu. Karena maksud mencari illat pada ashal itu ialah untuk menerapkannya pada cabang. Ketika suatu illat hanya diperoleh pada ashal saja, maka tidak dapat dijadikan asas qiyas. Sebagai contoh;
1) Beberapa ketentuan hukum yang khusus berlaku bagi Rasulullah Saw., tidak dapat dijadikan asas qiyas, misalnya kebolehan bagi Rsulullah Saw mengawini wanita lebih dari empat orang dan mengawini tanpa mahar. Illat dibolehkannya adalah kekhususan kawin yang demikian itu hanya berlaku untuk Rasulullah Saw.
2) Penetapan haramnya minuman khamr tidak boleh karena minuman khamr berasal dari perasan anggur yang sudah menjadi khamr. Sebab kalau itu dijadikan illat hukum, maka itu tidak terdapat pada minuman yang memabukkan yang bukan berasal dari perasan anggur. Dengan demikian efek dari hal ini menjadikan minuman-minuman yang lain yang memabukkan tidak haram meminumnnya, karena tidak dapat diqiyaskan kepada khamr (yang menjadi ashal qiyas). Hal ini tentu tidak benar dan tidak bisa diterima sebab, minuman apa saja yang mempunyai sifat memabukkan, sekalipun tidak berasal dari perasan anggur, hukumnya meminumnnya adalah haram, sesuai sabda Rasulullah Saw.;
“Setiap minuman yang mempunyai sifat memabukkan, meminumnnya adalah haram, baik sedikit maupun banyak.”[4]
Dengan demikian, illat yang benar untuk menetapkan haramnya minuman khamr adalah sifat yang memabukkan yang terdapat pada khamr itu.
Dari penjelasan dua pokok bahasan di atas dengan contoh-contoh yang telah dikemukakan, dapat difahami dan diyakini adanya illat. Para ulama ahli ushul beristidlal untuk menentukan hukum sesuatu masalah yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan hadis. Dan penetapan hukum masalah yang demikian ini diasarkan pada illat hukum.
Illat hukum itu dicari dalam menerapkan ijtihad dalam arti umum, termasuk menggunakan methode istihsan dan istihlah. Demikian pula dalam arti khusus ialah penggunaan metode qiyas. Dalam al-Qur’an, ditemuka banyak ayat, yang dalam penetapan hukumnya disebutkan illat hukumnya, tetapi dikalangan para ulama, namun masih terdapat perbedaan pendapat tentang eksistensi illat.
Dalam hal penentuan illat ini, perbedaan pendapat bermuara dari para ahli ilmu kalam (ilmu Ushuluddin). Perbedaan pendapat berfokus pada ayat-ayat al-Qur’an sebagai Kalamullah ; apakah mengandung tujuan tertentu ?
Berikut ini akan dikemukakan secara singkat pendapat teolog[5] tentang illat sebagai dasar penetapan suatu hukum.
a. Ulama Asy’ariyah; di kalangan ulama-ulama Asy’ariyah menolak bahwa Kalamullah (yang termasuk perbuatan Allah) untuk dicari illatnya. Alasan penolakannya adalah ; Firman Allah pada surah al-Anbiyah (21) ; 23.
Dalil di atas menyatakan bahwa tidak boleh Tuhan untuk dimintai pertanggung jawaban ataupun dinilai perbuatan dan hukumnya. Bahkan, Tuhanlah yang berhak meminta tanggung jawaban atas perbuatan manusia. Menilai atau menanyakan maksud hukum, termasuk menilai perbuatan Tuhan. Seandainya perbuatan Tuhan dan hukumnya mempunyai maksud, tentu ada yang mendorong untuk pada satu tujuan atau maksud tertentu dan manusia diberi hak untuk menilainya. Kalau demikian halnya, tentu berlawanan dengan maksud ayat tersebut.
b. Ulama Maturidy, Mu’tazilah dan penganut Hambali menyatakan bahwa perbuatan Allah (termasuk berfirman) dan hukum-Nya dapat dipahami mengandung illat (motivasi) tujuan dan hikmah. Alasan pandangan ini adalah firman Allah pada surah Adz-Dzari’at ayat 59. dan surah Al-Baqarah ayat 21.
4. Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu'tsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh)
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT:
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah (2): 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
b. Munasib mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok)
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi.
Contohnya ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan 'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai 'illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan kecil dapat pula dijadikan 'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.
c. Munasib mursal (sifat yang sesuai lagi bebas)
Yaitu munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur'an atau mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur'an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialek al-Qur'an.
d. Munasib mulgha (sifat yang sesuai yang sia-sia)
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara' tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau 'illat tersebut, bahkan syara' memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara' mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
5. Status, Kedudukan dan Fungsi ‘Illat
Status dan kedudukan ‘Illat adalah latar belakang penetapan hukum, yang kedudukannya terletak sebelum hukum disyariatkan. Jadi kedudukan illat sebenarnya sederajat dengan dalil suatu hukum syara’, yaitu illat itu ada sebelum atau bersamaan dengan hukum. Kedudukan illat adalah seperti halnya nash yang mendasari suatu hukum.[6]
Sedangkan fungsi ‘illat adalah sebagai berikut:
1. Penyebab atau penetap adanya hukum.
2. Penolak ( dafi’ah ) keberadaan hukum akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya `illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
3. Pencabut ( rafi’at ) kelangsungan suatu hukum, bila `illat terjadi pada masa tersebut, tetapi `illat ini tidak menolak terjadinya suatu hukum.
4. Penolak dan pencegah suatu hukum. Mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut bila hukum itu telah berlangsung.[7]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari penjelasan pokok-pokok bahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut;
- Illat pada dasarnya adalah suatu sifat yang terdapat pada ashal atau pokok yang menjadi dasar untuk menetapkan suatu hukum pada ashal dan untuk mengetahui hokum pada cabang yang hendak di cari hukumnya.
- Dalam rangka memahami illat secara sistematis, maka para ulama menetapkan beberapa syarat yang penting ada pada suatu illat. Syarat-syarat itu adalah ; illat itu berupa sifat yang jelas, berupa sifat yang sudah pasti dan sifat-sifat itu sesuai dengan hikmah hokum, serta illat tidak hanya terdapat pada ashal saja.
- Illat sebagai bagian integral dari metode qiyas, menelusurinya bukanlah perkara yang mudah, tetapi diperlukan cara dan kemampuan para fuqaha untuk mengetahuinya.Cara-cara mengetahui illat yang disepakati adalah ; dengan nash, dengan ijma dan as-sabru wa taqsim
2. Saran : Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber pengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972).
Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Kamus Ilmu Ushul Fikih,(Penerbit: AMZAH, 2005).
Prof. Dr. Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Cet.12 ( Nasyir wa tauziu , 1978), 75-77. Lihat pula Muhammad Abu Zahra, Ushul Fikih, (Dar al-Fikr, t.th.),
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal III, (Dar al-Fikr, 155. )
15Lihat Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Cet.3; (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004).
http://ayok.wordpress.com/2006/12/27/ragam-illat-qiya/ diakses tanggal 8 desember 2014
http://haryono10182.wordpress.com/sumber-hukum-islam/ diakses tanggal 8 desember 2004
[1] Prof. Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1972) hal: 276.
[2] Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Kamus Ilmu Ushul Fikih,(Penerbit: AMZAH, 2005), hlm. 120-121.
[3] Prof. Dr. Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Cet.12 ( Nasyir wa tauziu , 1978), 75-77. Lihat pula Muhammad Abu Zahra, Ushul Fikih, (Dar al-Fikr, t.th.), h. 334-335
[4] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal III, (Dar al-Fikr, 155. )
[5] 15Lihat Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Cet.3; (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.155-156.
[6] http://ayok.wordpress.com/2006/12/27/ragam-illat-qiya/ diakses tanggal 8 desember 2014
[7] http://haryono10182.wordpress.com/sumber-hukum-islam/ diakses tanggal 8 desember 2014