I. Latar BelakangBahasan utama dalam kajian ilmu Falak adalah penentuan awal waktu salat, arah kiblat, kalender, awal bulan Kamariah, dan gerhana. Dengan demikian pokok bahasan ilmu Falak terkait dengan persoalan ibadah. Sebagai bagian dari kegiatan ibadah, ilmu Falak diprediksi masuk ke Indonesia beriringan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia.
Ilmu Falak Sebagai sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan sains. Dalam sains kebenaran suatu teori itu bersifat relatif. Sebuah teori itu dianggap benar sampai datang teori baru yang meruntuhkannya. Sehingga teori yang lama tadi digantikan dengan teori yang baru. Teori yang baru inipun akan bertahan sampai datang teori yang dapat meruntuhkannya dan seterusnya. Begitulah perkembangan sains.
Dalam penentuan arah kiblat, pada masa awal Islam; dinyatakan sejak zaman Nabi dan para sahabat dikembangkan teori penentuan arah kiblat menggunakan benda langit sebagai pedoman. Ketika Nabi berada di Madinah, beliau berijtihad salat menghadap ke selatan. Posisi Madinah yang berada di utara Mekah menjadikan posisi arah ke Ka’bah menghadap ke selatan. Nabi menyatakan bahwa antara timur dan barat adalah kiblat.[1]
Dalam perkembangannya, pada abad pertengahan penentuan arah kiblat menggunakan bintang Conopus (Najm Suhail) yang kebanyakan terbit di bagian belahan bumi selatan, sedang di tempat lain menggunakan arah terbit matahari pada solstice musim panas (Inqilab asy- Syaity).[2]
Secara historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia berkembang sesuai dengan kualitas dan kapasitas intelektual di kalangan kaum muslimin. Perkembangan penentuan arah kiblat ini dapat dilihat dari perubahan besar di masa Muhammad Arsyad al-Banjārī dan Kyai Ahmad Dahlan atau dapat dilihat pula dari alat-alat yang digunakan untuk mengukurnya, seperti miqyas; tongkat Istiwa, Rubu’ Mujayyab, kompas, dan theodolit. Selain itu sistem perhitungan yang digunakan juga mengalami perkembangan.[3]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Kata kiblat berasal dari bahasa Arab al-qiblah. Disebutkan sebanyak tujuh kali dalam al-Qur’an.[4] Diambil dari kata qabala- yaqbulu yang artinya arah, menghadap.[5] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai arah ke Ka’bah di Mekah (pada waktu salat). Ka’bah juga sering disebut denganBaitullah (Rumah Allah). Menghadap arah Kiblat merupakan suatu yang penting dalam syariat Islam. Menurut hukum syariat, menghadap ke arah kiblat diartikan sebagai seluruh tubuh atau badan seseorang menghadap ke arah Ka'bah yang terletak di Makkah yang merupakan pusat tumpuan umat Islam bagi menyempurnakan ibadah-ibadah tertentu.
Dalam ilmu Falak, kiblat adalah arah terdekat menuju ka’bah melalui great circle pada waktu mengerjakan ibadah salat. Ka’bah atau Baitullah adalah sebuah bangunan suci yang merupakan pusat berbagai peribadatan kaum muslimin yang terletak di kota Mekah. Ia berbentuk kubus yang dalam bahasa arab disebut muka’ab. Dan dari kata itulah muncul sebutan ka’bah. Masalah kiblat tiada lain adalah masalah arah, yakni arah Ka’bah di Mekah. Arah Ka’bah ini ditentukan dari setiap titik atau tempat di permukaan Bumi dengan melakukan perhitungan dan pengukuran. Oleh sebab itu, perhitungan arah kiblat pada dasarnya adalah perhitungan yang dimaksudkan untuk mengetahui ke arah mana Ka’bah di Mekah itu dilihat dari suatu tempat di permukaan Bumi, sehingga semua gerakan orang yang sedang melaksanakan salat, baik ketika berdiri, rukuk, maupun sujudnya selalu berimpit dengan arah yang menuju Ka’bah. [6]
B. Pensyari’atan Menghadap Kiblat
Pensyari’atan Menghadap Kiblat dalam pelaksanaan ibadah antara lain berdasarkan firman Allah dalam QS al-Baqarah/2: 149-150:
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Ishāq bin Mansyūr menceritakan kepada kita, Abdullāh bin Umar menceritakan kepada kita, Ubaidullāh menceritakan dari Sa’īd bin Abī Sa’īd al-Maqbūrī. Dari Abū Hurairah r.a berkata Rasulullah saw. bersabda : “Bila kamu hendak salat maka sempurnakanlah wudu lalu menghadap kiblat kemudian bertakbirlah “ (HR. Bukhārī).[7]
Naş-naş tersebut dijadikan landasan pensyari’atan kewajiban menghadap kiblat dalam pelaksanaan ibadah. Fuqaha kemudian menyatakan bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah dalam pelaksanaan salat lima waktu. Dengan lain perkataan jika seseorang salat tidak menghadap kiblat, maka salat yang dilaksanakannya tidak sah.
Menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah salat. Bagi mereka yang melihat masjidil haram, para ulama sepakat menyatakan wajib menghadapnya dalam salat. Namun jika tidak melihatnya, para ulama berbeda pendapat:
1. Wajib menghadap ‘ain atau jihah Ka’bah
2. Wajib menghadap secara pasti (isabah) atau berdasarkan ijtihad. Menghadap ke Ka’bah secara pasti hanya dimungkinkan dengan (pengukuran yang akurat secara presisi untuk hasil perhitungan) sedekat mungkin dan toleransi berdasarkan ilmu ukur dan menggunakan ilmu Falak.[8]
Menghadap kiblat itu harus bersifat presisi ataukah bersifat ijtihādiah. Jika harus presisi maka jika arah kiblatnya salah, maka wajib salatnya diulangi tapi jika bersifat ijtihādiah maka tidak wajib diulang. Asy-Syafi’i berpendapat harus presisi. Sedang Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak diulang atas kesalahan yang tidak disengaja, atau tanpa berijtihad terlebih dahulu. Malik mengatakan disunnahkan untuk mengulaginya.[9]
Amir ibn Rabī’ah berkata, kami beserta Rasulullah saw pada malam yang gelap dalam suatu perjalanan. Maka tiap-tiap anggota rombongan salat menghadap ke arah (yang berbeda-beda). Setelah pagi hari, kami menyadari bahwa telah salat bukan menghadap kiblat yag seharusnya. Lalu kami menanyakannya kepada Rasullah. Rasul bersabda telah berlalu salat kamu sekalian (diterima). Dan turunlah ayat “wa lillāhi al-masyriq wa al-magrib”. Menurut jumhur ayat ini dimansukh oleh ayat ”wa min haysu kharajta fawalli wajhaka syatra al-masjid al-Harām”.[10]
C. Latar Belakang sejarah
Kiblat pertama kaum muslimin adalah ke arah Baitul Maqdis. Pada masa-masa awal hijrah ke Madinahpun nabi masih berkiblat ke Baitul Maqdis, di Palestina. Rangkaian QS. Al-Baqarah/2: 144 dikuatkan oleh riwayat Bukhārī yang berasal dari al-Barrā’ ibn ‘Āzib yang mengatakan bahwa setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah, ia salat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan lamanya. Padahal beliau menginginkan untuk menghadap ke ka’bah. Itulah peristiwa yang melatarbelakangi ayat di atas.[11] Demikianlah, bahwa pada awal pensyariatan ibadah salat lima waktu dengan menghadap kiblat ke Baitul Maqdis. Setelah enam belas atau tujuh belas bulan berlangsung turunlah perintah Allah untuk mengganti arah kiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram.
Walaupun pada awal pensyariatan ibadah salat lima waktu dengan menghadap kiblat menghadap ke Baitul Maqdis, dalam hatinya Nabi menginginkan untuk berkiblat ke Ka’bah. Setelah enam belas atau tujuh belas bulan nabi berada di Madinah di tengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani beliau disuruh oleh Tuhan untuk mengambil ka'bah menjadi kiblat, terutama sekali untuk memberi pengertian bahwa dalam ibadat salat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka'bah itu menjadi tujuan, tetapi menghadapkan diri kepada Tuhan. Hal ini untuk persatuan umat Islam, Allah menjadikan ka'bah sebagai kiblat. Hal ini diceritakan Allah dalam firman-Nya (QS. Al-Baqarah/2: 144).
Bagi orang-orang Yahudi menjadikannya sebagai bahan ejekan; dan selalu berkata ”Kalian Muslimin tidak memiliki agama yang tetap, oleh sebab itu kalian berdiri menghadap kiblat kami”. Dengan perintah Allah kiblat tersebut diubah dari Baitul Maqdis ke Mekah. Setelah itu, orang-orang Yahudi mengajukan kritikan lain, yaitu bahwa jika kiblat yang pertama benar, maka kenapa kalian mengubahnya; dan jika kiblat kedua yang benar, maka salat kalian selama menghadap kiblat pertama, adalah sia-sia. Hal ini diceritakan Allah dalam ayat sebelumnya(QS. Al-Baqarah/2: 142).
Allah lalu menjawab pernyataan mereka bahwa Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Tidak satu pun yang berhak mengklaim memiliki arah kiblat tertentu. Di samping itu pemindahan arah kiblat ini untuk mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot atau kembali kepada kekufuran; kembali pada ajaran agama mereka sebelumnya. Pemindahan kiblat itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dengan demikian sebagai ujian keimanan bagi mereka dari Allah (QS. Al-Baqarah/2: 142-143 dan 145).
Hikmah yang bisa kita petik dari pemindahan arah kiblat ini. Namun juga secara geografis, andai kiblat tetap di Majidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina; saat ini kita akan kesulitan menentukan arah kiblat. Masjidil Aqsha berada di lokasi dengan koordinat LU sebesar 31°46′ 40.93″. Garis ini jelas tidak dilalui matahari saat yaum Raşd al-Qiblah, sebab deklinasi yang paling besar matahari hanya akan melewati pada garis lintang utara tanggal 21 Juni 23,5° LU. Sehingga tidak memungkinkan kita untuk menentukan arah kiblat dengan melihat bayangan matahari ketika berpedoman pada masjidil Aqsha.
Ka’bah terletak di tengah Masjidil Haram di Mekah; berada di garis koordinat 21°25′ Lintang Utara. Garis ini di bawah 23,5° LU batas matahari melakukan mihādā-nya. Jadi setiap yaum Raşd al-Qiblah; hari di mana mata hari berada di atas kota Mekah; maka setiap bayangan benda pada saat itu persis menghadap ke kota Mekah. Kita dapat melakukan penentuan arah kiblat dengan bantuan; berpedoman pada bayang-bayang tersebut. Karena pada saat itu matahari tepat berada di atas Ka’bah sehingga bayang-bayang benda pada saat yang ditentukan tersebut persis mengarah kota Mekah; arah bayang-bayang tersebutlah kiblat. Di antara hikmah yang dapat kita petik dari pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah adalah terdapatnya waktu-waktu yang disebut dengan yaum Raşd al-Qiblah. Alangkah bijaksana jika kita dapat memanfaatkan kehadirannya dengan semaksimal mungkin. Yakni dengan melakukan pengecekan arah kiblat masjid di tempat kita masing-masing.
D. Konsep Ijtihad dalam menentukan Arah Qiblat
Kesemua empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali telah bersepakat bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Ada tiga kaidah dasar yang bisa digunakan untuk memenuhi syarat menghadap kiblat yaitu:
1. Menghadap Kiblat Yakin (Kiblat Yakin)
Seseorang yang berada di dalam Masjidil Haram dan melihat langsung Ka'bah, wajib menghadapkan dirinya ke Kiblat dengan penuh yakin. Ini yang juga disebut sebagai “Ainul Ka’bah”. Kewajiban tersebut bisa dipastikan terlebih dahulu dengan melihat atau menyentuhnya bagi orang yang buta atau dengan cara lain yang bisa digunakan misalnya pendengaran. Sedangkan bagi seseorang yang berada dalam bangunan Ka’bah itu sendiri maka kiblatnya adalah dinding Ka’bah.
2. Menghadap Kiblat Perkiraan (Kiblat Dzan)
Seseorang yang berada jauh dari Ka'bah yaitu berada diluar Masjidil Haram atau di sekitar tanah suci Mekkah sehingga tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, mereka wajib menghadap ke arah Masjidil Haram sebagai maksud menghadap ke arah Kiblat secara dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihadul Ka’bah”. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan bertanya kepada mereka yang mengetahui seperti penduduk Makkah atau melihat tanda-tanda kiblat atau “shaff” yang sudah dibuat di tempat–tempat tersebut.
3. Menghadap Kiblat Ijtihad (Kiblat Ijtihad)
Ijtihad arah kiblat digunakan seseorang yang berada di luar tanah suci Makkah atau bahkan di luar negara Arab Saudi. Bagi yang tidak tahu arah dan ia tidak dapat mengira Kiblat Dzan nya maka ia boleh menghadap kemanapun yang ia yakini sebagai Arah Kiblat. Namun bagi yang dapat mengira maka ia wajib ijtihad terhadap arah kiblatnya. Ijtihad dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat dari suatu tempat yang terletak jauh dari Masjidil Haram. Diantaranya adalah ijtihad menggunakan posisi rasi bintang, bayangan matahari, arah matahari terbenam dan perhitungan segitiga bola maupun pengukuran menggunakan peralatan modern.
Bagi lokasi atau tempat yang jauh seperti Indonesia, ijtihad arah kiblat dapat ditentukan melalui perhitungan falak atau astronomi serta dibantu pengukurannya menggunakan peralatan modern seperti kompas, GPS, theodolit dan sebagainya. Penggunaan ala-talat modern ini akan menjadikan arah kiblat yang kita tuju semakin tepat dan akurat. Dengan bantuan alat dan keyakinan yang lebih tinggi maka hukum Kiblat Dzan akan semakin mendekati Kiblat Yakin. Dan sekarang kaidah-kaidah pengukuran arah kiblat menggunakan perhitungan astronomis dan pengukuran.[12]
E. Sejarah Penentuan Arah Kiblat Di Indonesia
Menurut Slamet Hambali bahwa metode pengukuran arah kiblat yang berkembang di Indonesia selama ini ada lima macam, yakni menggunakan alat bantu tongkat Istiwa, kompas, rashd al-qiblah global, rashd al-qiblah local, dan theodolit.[13]
Metode penentuan arah kiblat pada priode awal adalah menggunakan miqyas atau tongkat Istiwa. Penentuan arah kiblat menggunakan metode ini memanfaatkan bayangan matahari sebelum dan setelah zawal atas tongkat Istiwa untuk menentukan arah Barat dan Timur sejati; dengan berpedoman pada bayangan dari ujung tongkat yang jatuh pada lingkaran yang titik pusatnya adalah tongkat Istiwa tadi. Setelah ditentukan arah Barat dan Timur sejati untuk menentukan arah kiblat digunakanlah Rubu’ Mujayyab sebagai alat bantu untuk mengukur koordinat arah kiblat.
Selain menggunakan miqyas atau tongkat Istiwa, bayangan matahari juga dapat dimanfaatkan dalam penentuan arah kiblat dengan metode rashd al-qiblah global dan rashd al-qiblah local. Rashd al-qiblah global yakni matahari berada di atas kota Mekah.[14] Sehingga bayangan yang terbentuk pada saat itu mengarah ke kota Mekah; kota di mana tempat berdirinya Masjidil Haram yang di dalamnya terdapat bangunan Ka’bah. Kondisi ini dimanfaatkan untuk mengukur atau mengecek arah kiblat masjid bagi daerah-daerah yang sama-sama mengalami siang hari bersamaan dengan kota Mekah dengan menyesuaikan waktu Mekah dengan waktu daerah atau kota tersebut. Rashd al-qiblah global itu terjadi dua kali setiap tahunnya, yakni saat matahari naik ke utara dan pada saat turun menuju selatan. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 28 Mei pada jam 12:18 waktu Mekah (pukul 16: 18) dan tanggal 16 Juli pada jam 12:27 waktu Mekah (pukul 16: 27 WIB) bagi daerah-daerah di Indonesia bagian barat. Pelaksanaan Raşd al-Qiblah global pada tahun-tahun Kabisat[15], ditambahkan satu hari. Sehingga dapat dinyatakan bahwa Raşd al-Qiblah global itu menjadi tanggal 29 Mei dan 17 Juli.
Adapun rashd al-qiblah local merupakan metode penentuan arah kiblat memanfaatkan posisi harian matahari ketika melintas atau melewati kota Mekah. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan tertentu. Pada saat itu bayangan matahari menuju ke kota Mekah atau kebalikannya. Kondisi ini dapat dijadikan pedoman dalam penentuan ataupun pengecekan arah kiblat masjid. Karena rashd al-qiblah local ini memanfaatkan posisi harian matahari, maka dapat dimanfaatkan setiap harinya.
Pada perkembangan selanjutnya, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi metode penentuan arah kiblatpun berkembang. Ketika mulai digunakannya kompas di Indonesia dalam menentuan arah mata angin, selanjutnya juga digunakan dalam pengukuran arah kiblat. Berikutnya digunakanlah theodolit. Theodolit biasanya digunakan sebagai alat untuk pemetaan. Namun juga dapat dimanfaatkan untuk penentuan arah kiblat.
Perhitungan arah kiblat yang dikembangkan oleh Kementerian Agama RI menggunakan perhitungan spherical trigonometri. Rumus yang digunakan bukan trigonometri (segitiga) biasa yang dialikasikan untuk perhitungan pada bidang datar tapi spherical trigonometri yang dalam perhitungannya berasumsi bahwa bumi itu bulat seperti bola.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu Falak Sebagai sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan sains. Dalam sains kebenaran suatu teori itu bersifat relatif. Sebuah teori itu dianggap benar sampai datang teori baru yang meruntuhkannya. Sehingga teori yang lama tadi digantikan dengan teori yang baru.
Kata kiblat berasal dari bahasa Arab al-qiblah. Disebutkan sebanyak tujuh kali dalam al-Qur’an.[16] Diambil dari kata qabala- yaqbulu yang artinya arah, menghadap. Dalam penentuan arah kiblat, pada masa awal Islam; dinyatakan sejak zaman Nabi dan para sahabat dikembangkan teori penentuan arah kiblat menggunakan benda langit sebagai pedoman. Menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah salat. Bagi mereka yang melihat masjidil haram, para ulama sepakat menyatakan wajib menghadapnya dalam salat. Namun jika tidak melihatnya, para ulama berbeda pendapat:
1. Wajib menghadap ‘ain atau jihah Ka’bah
2. Wajib menghadap secara pasti (isabah)
Kiblat pertama kaum muslimin adalah ke arah Baitul Maqdis. Pada masa-masa awal hijrah ke Madinahpun nabi masih berkiblat ke Baitul Maqdis, di Palestina. Setelah enam belas atau tujuh belas bulan berlangsung turunlah perintah Allah untuk mengganti arah kiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram.
DAFTAR PUSTAKA
David A King, Astronomy in The Serice of Islam, USA: Variorum Reprint King, 1993,
Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek. Cet.1. Yogyakarta: Lazuardi, 2001
Ma’lūf, al-, al-Munjid fī al-Lugah wa A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, cet.ke-37, 1998dan Munawir, Ahmad Warson, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997,
Khafid, Penentuan Arah Kiblat, Makalah Pelatihan Penentuan Arah Kiblat, Cibinong, 22 Februari 2009
Bukhārī, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-, tth, , Şahih al-Bukhārī, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmīyah,
Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, T.Tp: Dar al-Fikr, tth,
Muhammad Alī As-Sayyis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Tt: Tp t.th
Slamet Hambali, Metode Pengukuran Arah Kiblat Dengan Segitiga Siku-Siku Dari Bayangan Matahari Setiap Saat (Tesis), IAIN Wali Songo: Tidak diterbitkan, (2010,
[1] David A King, Astronomy in The Serice of Islam, USA: Variorum Reprint King, 1993, h. 253
[2] Ibid, h. 254
[3] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek. Cet.1. Yogyakarta: Lazuardi, 2001, h. 54 dan Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, cet.ke-2, 2009, h. 31-32
[4] Kata Kiblat dalam al-Qur’an diartikan: (1) Kiblat pada QS. A-Baqarah/2: 142, 143, 144, dan 145. Dan (2) tempat salat dalam QS. Yunus/ 10: 87
[5] Ma’lūf, al-, al-Munjid fī al-Lugah wa A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, cet.ke-37, 1998, h. 608 dan Munawir, Ahmad Warson, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, h. 1087-1088
[6] Khafid, Penentuan Arah Kiblat, Makalah Pelatihan Penentuan Arah Kiblat, Cibinong, 22 Februari 2009
[7] Bukhārī, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-, tth, , Şahih al-Bukhārī, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmīyah, h. 130
[8] Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, T.Tp: Dar al-Fikr, tth, h. 80
[9] Ibid, h. 81
[10] Ibid
[11] Muhammad Alī As-Sayyis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Tt: Tp t.th: 31
[12] Kajian Cara Menentukan Arah Kiblat, Sumber : Rukyatul Hilal Indonesia
[13] Slamet Hambali, Metode Pengukuran Arah Kiblat Dengan Segitiga Siku-Siku Dari Bayangan Matahari Setiap Saat (Tesis), IAIN Wali Songo: Tidak diterbitkan, (2010, h. 17
[14] Matahari dinyatakan berada di atas suatu kota atau daerah terjadi saat Istiwa di meridian langit
[15] Tahun yang habis dibagi 4 tahun 2004, dan 2008, adapun untuk tahun abad habis dibagi 400 seperti tahun 2000.
[16] Kata Kiblat dalam al-Qur’an diartikan: (1) Kiblat pada QS. A-Baqarah/2: 142, 143, 144, dan 145. Dan (2) tempat salat dalam QS. Yunus/ 10: 87