BAB II
PEMBAHASAN
I. Syarat-syarat Berhaji Menurut 4 Imam Mazhab
· Syarat-syarat haji menurut Mazhab Hanafi
1. Islam, haji tidak wajib bagi orang kafir, hajinya tidak sah.
2. Akal, tidak wajib bagi orang gila dan hajinya tidak sah.
3. Balig, tidak wajib bagi bayi tetapi bila sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk) hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak.
5. Kemampuan (Isthithoah)
Tambahan bagi wanita:
1. Harus didampingi suami atau mahramnya.
2. Tidak dalam keadaan iddah, baik karena cerai maupun kematian suami.
· Syarat haji menurut Mazhab Maliki
1. Islam, haji tidak wajib bagi orang kafir, hajinya tidak sah.
2. Akal, tidak wajib bagi orang gila dan hajinya tidak sah.
3. Balig, tidak wajib bagi bayi tetapi bila sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang baik dengan yang buruk) hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak.
5. Kemampuan
Tambahan bagi wanita:
Tidak disyaratkan adanya suami atau mahram tapi boleh melaksanakan haji bila ada teman yang dianggap aman, baik bagi wanita muda atau tua.
· Syarat-syarat haji menurut Mazhab Syafi'i
1. Islam, haji tidak wajib bagi orang kafir, hajinya tidak sah.
2. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak.
3. Taklif (sudah mukallaf, yaitu berkewajiban melaksanakan syariat)
4. Kemampuan,
Tambahan untuk wanita:
Ada pendamping yang aman dengan seorang wanita muslimah yang merdeka dan tepercaya.
· Syarat-syarat haji menurut Mazhab Hambali
1. Islam, haji tidak wajib bagi orang kafir dan hajinya tidak sah.
2. Akal, tidak wajib bagi orang gila, hajinya tidak sah.
3. Balig, tidak wajib bagi bayi tetapi bila sudah mumayyiz (bisa membedakan yang baik dengan yang buruk) hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak.
5. Kemampuan
Tambahan bagi wanita:
Harus diikuti oleh mahramnya atau orang yang haram menikahinya selamanya..
II. FARDU HAJI
Pengertian Fardu: Fardu adalah semua pekerjaan yang harus dilakukan, sah haji bergantung kepadanya dan tidak dapat diganti dengan dam. Fardu mencakup rukun dan syarat.
Fardu Haji ada empat, yaitu:
1. Ihram
2. Wukuf di Arafah
3. Tawaf Ifadah
4. Sai antara Safa dan Marwa
SEMUA MAZHAB SEPAKAT TENTANG FARDU HAJI
III.Rukun Haji
Rukun haji adalah amalan-amalan haji yang apabila ditinggalkan maka batal hajinya. Dalam hal ini, di antara para fuqaha terdapat perbedaan pendapat;
a. Rukun haji menurut mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi rukun haji hanya ada dua yaitu wukuf di Arafah; dan empat kali putaran dalam thawaf ifadhah sedangkan tiga kali putaran lainnya sekedar wajib.
b. Rukun haji menurut mazhab Maliki dan Hambali
Menurut mazhab Maliki dan Hambali rukun haji ada empat, diantaranya adalah:
a. Ihram
b. Thawaf ifadhah
c. sa’i, dan
d. wukuf di Arafat (hari Arafah).
c. Rukun haji menurut Syafi’i
Menurut Mazhab Syafi’i ada enam,yaitu:
a. Ihram
b. Thawaf Ifadhah
c. Sa’i
d. Wukuf di Arafat (hari Arafah).
e. Memotong/menggunting rambut
f. Tertib
Yang dimaksud tertib di sini adalah mendahulukan ihram dari semua amalan haji. Melaksanakan wukuf sebelum thawaf Ifadhah dan menggunting rambut, melaksanakan thawaf Ifadhah sebelum sa’i kecuali yang telah sa’i pada waktu thawaf qudum (bagi yang melaksanakan haji ifrad atau qiran), maka setelah thawaf ifadhah tidak diharuskan sa’i lagi.
IV. Wajib Haji
Pengertian Wajib: Wajib adalah semua pekerjaan yang harus dilakukan, bila ditinggalkan, maka harus membayar dam.Semu Imam sepakat dalam Wajib haji ini , namun ada sedikit perbedaan pendapat tentang pelaksanan di antaranya. ada tujuh, yaitu:
1. Ihram dari mikat
2. Wukuf di Arafah
3. Bermalam di Mazdalifah
4. Bermalam di Mina
Mengenai mabit (bermalam) di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu:
Ø Pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari tasyriq hukumnya wajib, kecuali karena udzur syari’. Apabila sama sekali tidak mabit pada hari-hari tasyriq (11,12, dan 13 Dzulhijjah) wajib membayar dam seekor kambing. Apabila meninggalkan mabit satu malam maka wajib membayar fidyah 1 mud (3/4 liter beras atau semacamnya), dan apabila meninggalkan mabit 2 malam (bagi yang nafar sani), maka fidyahnya2 mud.
Ø Pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari Imam Syafi’i mabit di Mina hukumnya sunat. Apabila sama sekali tidak mabit di Mina pada hari-hari tasyriq disunatkan membayar dam seekor kambing dan apabila hanya sebagian saja maka di sunatkan membayar fidyah.
5. Mencukur atau memotong rambut, Seluruh imam Mazhab berpendapat (mencukur lebih afdal)
6. Melempar jumrah
Melempar jumrah adalah salah satu wajib haji, yaitu melempar jumrah ‘aqabah dan melempar tiga jumrah. Mengenai hal ini para imam berbeda pendapat :
a. Melempar jumrah ‘aqabah dilaksanakan pada hari raya haji, 10 Dzulhijjah, sebagaimana sabda Rasulullah:
Dari Jabir katanya: Saya melihat Nabi SAW, melempar jumrah dari atas kendaraan beliau pada hari raya, lalu beliau bersabda: Hendaklah kamu turuti cara ibadah sebagaimana yang saya kerjakan ini, karena sesungguhnya saya tidak mengetahui, apakah saya akan dapat mengerjakan haji lagi sesudah (haji) ini. (HR. Ahmad, Muslim dan Nasai).
Jumrah ‘aqabah disebut juga dengan jumrah al-kubra. Kemudian mengenai waktu melempar jumrah ‘aqabah terdapat perbedaan pendapat.
· Melontar Jumrah Sesudah Terbit Matahari
Imam Abu Hanifah, Malik, Sufyan, dan Imam Ahmad, berpendapat, melontar jumrah ‘aqabah dilaksanakan sesudah terbit matahari. Bahkan Imam Malik menegaskan, bahwa ada orang yang melontar jumrah sebelum fajar, harus mengulangi kembali. Hambali dan Imamiyah berpendapat tidak boleh melempar jumrah ‘aqabah sebelum terbit fajar tanpa ada udzur, ia harus mengulangi lagi. Tetapi mereka boleh untuk mendahulukannya bila ada udzur, seperti tidak mampu (kembali sakit dan takut).
Sekiranya ada orang yang melontar jumrah sesudah malam hari, atau keesokan harinya terdapat perbedaan pendapat:
Ø Imam Malik mengatakan harus membayar dam.
Ø Imam Abu Hanifah mengatakan, bila orang itu melontar jumrah pada malam harinya, tidak usah membayar dam dan bila melontar jumrah pada keesokan harinya harus membayar dam.
Ø Imam Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat dan murid Abu Hanifah) mengatakan, tidak usah membayar dam, walaupun melontar jumrah pada malam harinya. Mereka beralasan, bahwa Nabi memberi kelonggaran (rukhshah) bagi pengembala unta. Sekiranya ada kesulitan tentu dapat dibenarkan.
b. Melempar tiga jumrah dilaksanakan setiap hari pada hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) sesudah zawal (tergelincir matahari), sebagaimana hadits Ibnu Abbas.
Rasulullah melontar jumrah sesudah matahari tergelincir. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Dengan demikian tidak boleh melepar jumrah sebelum zawal. Sesudah zawal dimulai melontar jumrah sampai menjelang matahari terbenam. Sekiranya melontar pada malam harinya, mesti diqadha menurut Malikiyah, karena keluar dari waktu yang ditetapkan. Sedangkan menurut Hanafiyah, bila melontar pada malam harinya dan sebelum terbit fajar, dibolehkan dan tidak usah membayar dam. Hanabilah berpendapat, tidak boleh melontar jumrah kecuali pada siang hari sesudah zawal. Syafiiyah berpendapat, waktu melontar dimulai dari zawal sampai terbenam matahari.
Imamiyah juga berpendapat waktu melempar jumrah tersebut mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya. Kalau ia lupa ia harus melaksanakan besoknya. Kalau lupa lagi, ia harus melaksanakannya pada hari kedua belas. Dan kalaupun tidak ingat juga, maka ia harus melaksanakannya pada hari ketiga belas. Dan apabila lupa selamanya sampai keluar dari Mekkah, maka ia harus melaksanakannya pada tahun yang akan datang, baik dilakukannya sendiri, atau diwakilkan pada orang lain.
7. Tawaf wada'
V. Makna Istitho’ah (Mampu) Menurut 4 Mazhab
Adapun seorang muslim dikenakan kewajiban menunaikan ibadah haji apabila ia mampu sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 97. Dalam bahasa Arab, kata mampu menggunakan istilah “al-Istitha’ah”. Istitha’ah dalam pengertian kebahasaan berasal dari akar kata tâ’a, yaitu tau’an, berarti taat patuh dan tunduk. Istithâ’ah berarti keadaan seseorang untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan syara’ sesuai dengan kondisinya Kami mengutip perbedaan pendapat ulama mazhab empat tentang makna istitha’ah dalam ibadah haji sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa makna istitha’ah menjadi 3 macam yakni badan/fisik, harta, dan keamanan. Berkaitan dengan harta adalah bekal dan kendaraan, yakni memiliki bekal untuk pulang dan pergi dan kendaraan adalah sarana transportasi yang digunakan. Untuk bekal adalah yang mencukupi seseorang selama perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji dan juga harta untuk menafkahi keluarga dan tanggungannya yang ditinggalkan selama dan pasca ibadah haji.
2. Mazhab Malik memaknai istitha’ah dengan 3 hal yakni kemampuan fisik/badan, adanya bekal yang cukup, dan kemampuan perjalanan. Berkaitan dengan bekal yang cukup adalah sesuai dengan kebiasaan manusia. Sedangkan tentang perjalanan, mazhab ini tidak mensyaratakan perjalanan dengan kendaraan secara hakiki, maka berjalan pun jika mampu dibolehkan. Hakikat mampu adalah dapat mencapai perjalanan ke Mekah meskipun dengan usaha yang sulit hingga membuat seseorang sangat pas-pasan. Bahkan bila setelah haji ia menjadi fakir pun karena kehabisan harta dan keluarga yang ditinggalkan dalam keadaan kesulitan ekonomi asal tidak menyebabkan kematian, hukumnya boleh-boleh saja menurut mazhab ini.
Dari sumber lain Menyebutkan,Imam Malik berkata: Jika ia lumpuh, gugurlah kewajiban hajinya, baik ia mampu menyuruh orang lain untuk menghajikannya dengan harta atau dengan lainnya, tetap saja ia tidak berkewajiban haji. Jika ia telah wajib untuk haji kemudian lumpuh, gugur pula kewajiban hajinya dan ia tidak boleh dihajikan oleh orang lain selama ia hidup. Akan tetapi, jika berwasiat agar dihajikan setelah ia meninggal, ia harus dihajikan (dengan biaya yang diambil) dari sepertiga harta peninggalannya, dan hal tersebut merupakan ibadah sunah baginya. Imam Malik berargumendengan: (a) firman Allah: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh kecuali apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm [53]: 39). Allah menjelaskan bahwa seseorang hanya mendapatkan hasil usahanya. Orang yang berpendapat bahwa seseorang dapat memperoleh hasil usaha orang lain menyalahi ìãhir ayat tersebut. (b) firman Allah: “…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah..” (QS. Ali Imran [3]: 97), sedang orang (yang lumpuh, sakit) ini termasuk orang yang tidak sanggup (mampu), karena ibadah haji itu menuju ke Baitullah yang dilakukan orang mukallaf sendiri; di samping itu, haji adalah suatu ibadah yang tidak boleh diwakilkan disebabkan lemah (tidak mampu) sebagimana salat. (Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, [Beirut: Dãr al-Ièya al-Turãê al-Arãbî, 1957 M], jilid II, juz IV, h.150-151).
3 Imam Syafi’i berkata: istitho’ah itu ada dua macam. Pertama, seseorang mempunyai kemampuan badan dan biaya yang cukup untuk haji. Kemampuan (istitho’ah) semacam ini adalah kemampuan yang sempurna; karena itu, ia sudah wajib haji. Dalam kondisi semacam itu, tiada pilihan lain kecuali ia harus melaksanakan haji sendiri. Kedua, ia kurus (sakit) badannya hingga tidak mampu naik kendaraan, maka ia berhaji di atas kendaraan di kala mampu; sedang (jika) ia mampu menyuruh orang yang taat kepadanya untuk menghajikannya, atau ia mempunyai biaya dan mendapatkan orang yang mau dibayar untuk menghajikannya, orang seperti ini termasuk orang yang diwajibkan haji, sebagaimana orang yang mampu haji sendiri. (Imam as-Syafi’i, al-Umm, juz II, h. 96) Imam Syafi’i berargumentasi dengan hadis yang keluarkan oleh Daraqutni dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Ketika ayat diturunkan, seorang laki-laki bediri dan bertanya (kepada Rasulullah): Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud ‘jalan’ (as-sabîl) tersebut? Rasulullah menjawab: ‘Biaya dan kendaraan’. Hadis ini diriwayatkan dengan jalan yang banyak. Zahir hadis ini mendukung pendapat Imam Syafi’i karena hadis itu membatasi istitho’ah hanya pada kemampuan materi, tanpa mensyaratkan kesehatan badan. Secara jelas pendapat Imam Syafi’i ini bertentangan dengan pendapat Imam Malik.
4. Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istitha’ah berkaitan dengan bekal dan kendaraan. Seseorang wajib memiliki bekal dan kendaraan yang baik untuk beribadah haji. Begitu pula tentang bekal bagi keluarga yang ditinggalkan selama ibadah haji wajib dicukupi.
Dalam masalah ini, kami (mazhab Hanbali) berpegang pada hadis Abu Razin, di mana ia diperintahkan oleh Rasulullah untuk menghajikan ayahnya dan berumrah. Selain itu Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa seorang perempuan dari Khaê’am berkata: “Ya Rasulullah SAW, kewajiban Allah kepada hamba-Nya berupa haji telah berlaku pada ayahku, namun ayahku adalah seorang tua renta yang tak mampu lagi duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku menghajikannya?“ Rasulullah bersabda: “Ya (boleh)“. Peristiwa itu terjadi ketika haji Wada“. (Hadis ini muttafaq `alaih). Menurut redaksi Muslim: Wanita tersebut berkata: Ya Rasulullah! Ayahku sudah tua dan telah berkewajiban haji, namun ia tidak mampu duduk di atas punggung ontanya. Lalu Rasulullah bersabda: “Berhajilah untuknya!“ Ali pernah ditanya tentang orang tua yang telah memiliki kemampuan berhaji. Ia berkata: “Ia perlu dibekali (digantikan). Selain itu, haji adalah suatu ibadah yang jika rusak diwajibkan membayar kafarat. Karena itu, dalam (melaksanakan) ibadah tersebut pelaksanaan orang lain dapat menduduki pelaksanaan orang bersangkutan (maksudnya, ibadah itu boleh dikerjakan oleh orang lain) sebagaimana puasa, jika tidak mampu mengerjakannya, ia harus membayar fidyah; berbeda dengan salat. (Dalam masalah haji tersebut) ia harus segera mewakilkannya jika telah memungkin, sebagaimana jika ia sendiri yang melaksanakannya. (Ibnu Qudamah, Al-Syarè al-Kabîr, [Riyadh: Jami’ah Imam Muhammad Ibn Sa’ud al_Islamiyyah–Kulliayah as-Syari’ah, t.th.], jilid II, h. 92; dan Al-Mugnî li Ibn al-Qudãmah, [t.t.: Al-Manar,1968 H], cet. ke-3, h. 219-220). [a]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mengenai syarat haji, para mazhab sependapat bahwa syarat sah haji adalah Islam, akal, sehat dan merdeka. Mengenai baligh ada perbedaan pendapat antara mazhab Syafi’I dengn para mazhab yang lain. Syafi’I memandang bahwa anak kecil jika dia sudah mumayyiz dan mendapatkan izin dari orang tuanya maka hajinya sudah sah.
Sedangkan rukun haji keempat mazhab mempunyai perbedaan yaitu, hanafi rukun haji hanya dua antara lain tawaf dan wukuf. Maliki dan hambali berpendapat bahwa rukun haji adalah Ihram, Thawaf, ifadhah, sa’i, dan wukuf di Arafat (hari Arafah). Syafi’I berpendapat bahwa rukun haji adalah Ihram, Thawaf Ifadhah, Sa’I, Wukuf di Arafat (hari Arafah), Memotong/menggunting rambut, Tertib.
Semua mazhab sepakat bahwa bermalam di muzdalifah, lempar jumroh, memotong rambut dan juga thawaf adalah wajib haji. Namun ada perbedaan antara lain menurut Hanafi sya’I merupakan salah satu wajib haji. Maliki, Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa bermalam di Mina juga merupakan wajib haji. Dan Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa ihrom dari miqot juga merupakan salah satu wajib haji.
Isthithoáh adalah salah satu syarat mutlak dalam pelaksanaan Haji dan Umrah,banyak pengertian isthithoáh ini dikarenakan banyaknya pendapat imam fiqih yang berbeda pendapat sebut saja imam Syafií, imam Malik, imam Hanafi, imam Hambali, mereka berempat saling berbeda pendapat tentang isthithoáh ini.
Maka dari itu para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menentukan batasan-batasan istithâ’ah. Secara umum mereka memahami istithâ’ah di dalam surat Ali Imran ayat 97 adalah, kemampuan seseorang untuk dapat sampai ke Mekah dan menunaikan haji seperti kemampuan jasmani, biaya dan keamanan dalam perjalanan sesuai dengan penjelasan Nabi Saw ketika ditanya oleh para sahabat Nabi Saw pengertian “sabila” dalam ayat di atas, Rasul Saw bersabda : Azzaad warrahilah, maksudnya perbekalan dan kendaraan. (HR. Dar-quthni)
DAFTAR PUSTAKA
Syaih al- Allamah Muhammad Bin Abdurrahman ad damasqy,Fiqih empat madhab,(Bandung:Hasimi pres)
http://mickeystud.blogspot.som/Taman Ilmu Ikhtilaf Haji Menurut Lima Mazhab.htm Diakses pada tanggal 20 oktober 2014
M. Ali Hasan, 2000, Perbandingan Mazhab Fiqh, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
Lampiran FATWA MUI Nomor: 01 Tahun 2001 tentang HAJI BAGI NARAPIDANA
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Juz 3. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 25. Bandingkan dengan Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Juz 1, cet-120. (Kairo: al-Fath li al-I’lam al-Arabi, 2007)
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Juz 3. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 25. Bandingkan dengan Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Juz 1, cet-120. (Kairo: al-Fath li al-I’lam al-Arabi, 2007)